Tertinggalnya Pengelolaan Sampah Banda Aceh
Islam telah nyata memerintahkan umatnya untuk menghindari perilaku yang menghasilkan sampah (Al’Isra: 27 dan Al-An’am: 141) dan menjaga kebersihan (Al-Baqarah: 222). Namun kenyataannya hal ini masih belum sanggup kita tunaikan. Padahal, dibandingkan dengan ibukota lainnya di Indonesia, jumlah penduduk Kota Banda Aceh tidak banyak. Hanya sekitar 254.904, jauh di bawah rata-rata jumlah penduduk ibukota lainnya di Indonesia yaitu 1.020.790. Selayaknya dengan jumlah penduduk yang tidak banyak, sistem pengelolaan permukiman seperti pengelolaan sampah semestinya dapat dimaksimalkan. Namun, sistem pengelolaan sampah di Banda Aceh dapat dikatakan kuno dan perkembangannya pun lambat sehingga tertinggal jika dibandingkan dengan ibukota lainnya di Indonesia, apalagi di dunia yang sudah berkiblat ke sistem nol sampah (zero waste). Sistem pengelolaan sampah dapat dibagi menjadi 5 sub-sistem yaitu peran serta masyarakat, peraturan, kelembagaan, pembiayaan, dan teknis operasional.
Dalam pelaksanaan peran serta masyarakat, masyarakat Banda Aceh seringkali divonis tidak memiliki kesadaran yang cukup mengenai kebersihan dan pengelolaan sampah. Sebenarnya tidak demikian, indikasinya adalah kebiasaan berbagai gampong melaksanakan kerja bakti secara berkala. Jumlah komunitas peduli lingkungan di Banda Aceh pun ada lebih dari 50 komunitas. Komunitas-komunitas ini aktif melaksanakan berbagai kegiatan seperti kerja bakti, diskusi, kampanye, dan aksi-aksi lainnya. Antara lain aksi bersama yang patut mendapat apresiasi adalah peringatan Hari Peduli Sampah Nasional yang rutin dilaksanakan setiap bulan Februari tiga tahun terakhir. Dalam setiap peringatan tersebut, walikota yang menjabat selalu membacakan Deklarasi Indonesia Bebas Sampah. Selain itu pada Oktober 2017 lalu, komunitas-komunitas lingkungan di Banda Aceh bersama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh menjadi penyelenggara Jambore Bergerak Indonesia Bebas Sampah 2020 yang didukung pemerintah pusat dan dihadiri oleh 234 peserta dari 22 provinsi di Indonesia.
Memang masih sering pula ditemui masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke pinggir jalan dan sungai. Juga masih banyaknya masyarakat dan bahkan instansi pemerintah yang membakar sampah. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai hak dan kewajibannya dalam tata cara mengelola sampah yang bertanggungjawab. Pemerintah Kota Banda Aceh semestinya mampu mengedukasi dan menertibkan perilaku masyarakat yang belum bertanggungjawab. Puluhan komunitas lingkungan yang ada telah menyatakan diri siap membantu mengedukasi masyarakat namun tidak akan bisa memberikan dampak nyata apabila tidak harmonis pergerakannya dengan penegakkan hukum oleh Pemerintah Kota.
Kota Banda Aceh tidak kekurangan payung hukum dalam melaksanakan pengelolaan sampah yang baik. Lima tahun sebelum Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Pemerintah Kota Banda Aceh telah lebih dulu menerbitkan Qanun No. 5 Tahun 2003 Tentang Kebersihan dan Keindahan. Papan sosialisasinya masih dapat kita temukan di Peunayong. Kini Qanun tersebut telah diperbarui dengan Qanun No. 1 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sampah. Penertiban pengelolaan Sampah Kota Banda Aceh dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan keberadaan UU dan Qanun tersebut, selain juga tersedianya PP No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Permen Dagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Permen PU No. 3 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Berbagai peraturan tersebut telah menjelaskan dengan terang-benderang mengenai hak dan kewajiban setiap pihak dalam pengelolaan sampah. Mulai dari pelarangan bakar sampah dan buang sampah sembarangan yang pelanggarnya didenda maksimum Rp.10.000.000 (sesuai UU 18/2008 Ps. 29 dan Qanun 1/2017 Ps. 40), kewajiban penyelenggara acara dalam mengelola sampah acara, serta kewajiban pengelola area komersial dan perkantoran serta pemerintahan gampong dalam mengelola sampahnya sendiri.
Sudah sering muncul dalam pemberitaan mengenai penindakan dan pengadilan terhadap pelanggar peraturan persampahan di kota-kota lain seperti Jakarta, Depok, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya. Bahkan pada bulan Agustus tahun 2014, Wali Kota Bandung yaitu Ridwan Kamil pernah dilaporkan oleh masyarakat Kota Bandung ke Ombudsman karena dinilai lalai dalam menerapkan peraturan persampahan. Setelah dilaporkan, Ridwan Kamil segera berbenah dan pada bulan Desember tahun 2014 berbagai peraturan persampahan telah mulai diterapkan termasuk adanya pemeriksaan kendaraan yang memasuki Kota Bandung dan denda bagi yang tidak menyediakan tempat sampah di dalam kendaraan. Kapan Banda Aceh menyusul?
Dalam sub sistem kelembagaan, Pemerintah Kota Banda Aceh harus lebih aktif dalam memimpin penyelenggaraan pengelolaan sampah dan tidak hanya bertumpu pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota (DLHK3) namun dapat melibatkan dinas lainnya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kominfo, dan lainnya. Secara garis besar, arahan nasional telah diberikan melalui Kebijakan dan Strategi Persampahan Nasional (Jakstranas) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 yang juga membagi tugas pengelolaan sampah ke kementerian lainnya selain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahun ini Walikota Banda Aceh diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan Kebijakan dan Strategi Persampahan Daerah (Jakstrada) dan terancam tidak mendapat adipura apabila tidak berhasil membuat Jakstrada.
Kinerja DLHK3 selama ini banyak terhambat oleh perencanaan yang tidak matang, keberanian dalam berinovasi, dan ketersediaan anggaran. Masterplan persampahan Banda Aceh terakhir dibuat tahun 2007, merupakan masterplan darurat pasca tsunami yang disarankan diperbarui pada tahun 2012 namun tidak terlaksana. Memang saat ini sedang dilaksanakan pembuatan Perencanaan Teknis Manajemen Persampahan (PTMP). Namun di tengah pembuatannya, Pemerintah Kota Banda Aceh terus membuat inisiatif-inisiatif baru yang membuat pelaksanaan pengelolaan sampah terkesan terombang-ambing tidak jelas arahnya. Inisiatif terkini adalah rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Gampong Jawa. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Gubernur Irwandi Yusuf pada bulan November 2017 yang menyatakan TPA Gampong Jawa perlu ditutup, dipindahkan sampahnya ke TPA Blang Bintang, dan direhabilitasi untuk diangkat kembali marwahnya sebagai makam kerajaan Aceh. Justru inisiatif yang sebelumnya telah diapresiasi berbagai pihak yaitu Waste Collecting Point atau WCP malah terhambat perkembangannya akibat tidak mendapat anggaran dan dukungan yang cukup sehingga sejak 3 tahun lalu baru terlaksana di 3 gampong, itupun tersendat-sendat. Keberanian DLHK3 Banda Aceh dalam mengajukan anggaran dan kesadaran para anggota DPRK yang kita harapkan terhormat dalam memenuhi kebutuhan anggaran pengelolaan sampah perlu ditingkatkan.
Dalam sub-sistem teknis operasional, skema pengelolaan sampah di Banda Aceh masih menggunakan skema kumpul-pindah-angkut-buang yang tidak menyelesaikan masalah namun hanya memindahkannya hingga bertumpuk di TPA. Pengelolaan sampah secara teknis dalam berbagai standar di Indonesia dibagi menjadi dua upaya yaitu pengurangan dan penanganan. Dalam Jakstranas, pada tahun 2018 ini ditargetkan upaya pengurangan sampah diterapkan untuk 18% sampah sedangkan 73% sisanya ditangani dengan upaya penanganan sampah. Sementara di Banda Aceh, jangankan pengurangan atau penanganan, dapat kita lihat masih banyak sampah yang bahkan tidak terkelola karena masih banyaknya sampah dibakar, dibuang ke sungai, dan lainnya. Sehingga bagi Pemerintah Kota Banda Aceh pekerjaan rumah utama dalam pengelolaan sampah adalah mengejar pengelolaan sampah 100%.
Untuk mewujudkan Banda Aceh Bebas Sampah 2025, hal paling mudah yang dapat dimulai hari ini oleh Pemerintah Kota Banda Aceh adalah memberi contoh di kantor-kantor pemerintah dimulai dari rapat-rapat dan acara-acara yang tidak menghasilkan sampah (KLHK telah membuat pedoman yang mudah diikuti), pemilahan sampah, pengadaan bank sampah, dst. Dalam sambutannya di peluncuran aplikasi E-Berindah kemarin, Walikota Banda Aceh Aminullah Usman sempat membuat pernyataan meningkatnya jumlah sampah Banda Aceh perlu disyukuri karena itu indikasi peningkatan ekonomi. Itu paradigma lama, kini pertumbuhan ekonomi bisa sejalan dengan kebaikan ekologi melalui penerapan ekonomi melingkar (circular economy). Pemerintah memiliki kekuatan untuk mendorong diterapkannya ekonomi melingkar dengan mendorong tumbuhnya usaha-usaha yang ramah lingkungan, pengurangan dan penanganan sampah oleh pelaku industri (bekerja sama dengan pemerintah pusat) dan daur ulang sampah yang masih dihasilkan. Kita para warga juga dapat berpartisipasi dengan mengurangi sampah kita melalui upaya-upaya sederhana seperti membawa kantong belanja sendiri dan menolak plastik dalam berbagai bentuk (kantong plastik, botol minum sekali pakai, sedotan, sendok-garpu disposable, dll), mengompos sampah organik di rumah masing-masing, dll.
Ditulis oleh Zulfikar, warga Banda Aceh, alumni Teknik Lingkungan ITB, Pendiri Wirausaha Sosial Waste4Change dan berprofesi sebagai Tenaga Ahli Lingkungan dan Persampahan